Kebijakan Royalti Musik Kembali Memicu Perdebatan
Kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha seperti kafe dan restoran membayar royalti atas pemutaran musik kembali memicu perdebatan di kalangan pelaku UMKM. Banyak dari mereka memilih untuk mematikan musik di tempat usahanya, menggantinya dengan suara alam seperti gemericik air atau kicauan burung. Namun, langkah ini dinilai tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa rekaman suara apapun—termasuk suara alam—tetap dilindungi oleh hak terkait, sehingga tetap dikenai kewajiban pembayaran royalti. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM HKI.02/2016, yang menentukan tarif royalti yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha berdasarkan jenis usahanya.
Tarif Royalti Berbeda Sesuai Jenis Usaha
Untuk restoran dan kafe, royalti yang dikenakan adalah sebesar Rp60.000 per kursi per tahun untuk pencipta lagu, dan Rp60.000 per kursi per tahun untuk hak terkait. Sementara itu, pub, bar, dan bistro dikenai tarif royalti sebesar Rp180.000 per meter persegi per tahun untuk masing-masing kategori—baik pencipta lagu maupun hak terkait. Adapun untuk diskotek dan klub malam, tarifnya mencapai Rp250.000 per meter persegi per tahun untuk royalti pencipta lagu dan Rp180.000 per meter persegi per tahun untuk hak terkait.
Pembayaran royalti dilakukan minimal satu kali dalam setahun dan dapat diurus secara daring melalui situs resmi LMKN. Kebijakan ini berlaku untuk semua bentuk pemanfaatan musik dan rekaman suara, mulai dari speaker internal, live music, hingga pemutaran digital.
Dampak pada Pelaku UMKM
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM DIY, Sri Nurkyatsiwi, mengakui bahwa kebijakan ini akan berdampak langsung pada pelaku usaha kecil, terutama coffee shop atau tempat usaha yang menjadikan musik sebagai bagian dari suasana. Ia menekankan bahwa tidak semua lagu dikenai royalti, karena ada lagu-lagu yang bebas lisensi atau masuk kategori 'free copyright'.
“Sebetulnya ini perlu didudukkan bersama. Kita juga harus menghormati hak cipta, hak moral, dan hak ekonomi dari para musisi. Mereka ini juga termasuk pelaku UMKM di sektor jasa,” tambahnya. Menurutnya, penciptaan lagu oleh musisi bertujuan untuk memperoleh penghasilan, sebagaimana pelaku UMKM menciptakan produk.
Kolaborasi Sebagai Peluang
Alih-alih melihat kebijakan ini semata sebagai beban, Siwi mengajak pelaku UMKM melihat potensi kolaborasi. Menurutnya, penggiat musik bisa menciptakan lagu-lagu yang memang dirancang untuk digunakan di ruang usaha komersial. “Sebenarnya ini bisa menjadi peluang juga. Para penggiat musik bisa menciptakan lagu-lagu yang memang cocok diputar di tempat-tempat usaha. Ini bisa jadi kolaborasi yang saling menguntungkan.”
Ia menilai polemik yang muncul adalah hal yang wajar, namun yakin solusi akan ditemukan sepanjang ada komunikasi terbuka antara pihak-pihak terkait.
Pemerintah Fasilitasi Pendaftaran Hak Cipta
Pemerintah, kata Siwi, telah menyediakan sejumlah program untuk memfasilitasi pendaftaran hak cipta melalui anggaran APBD maupun APBN. Ia menyebut bahwa UMKM sektor jasa seperti musik juga tercakup dalam program pembinaan dan pendampingan.
“Kalau dari sisi kami di UMKM, sebenarnya UMKM itu bukan cuma food, craft, atau fashion saja, tapi juga termasuk sektor jasa seperti musik,” jelasnya. Musisi yang menjadi mitra Sibakul Jogja, lanjutnya, berpeluang memperoleh kemudahan, termasuk subsidi pendaftaran hak cipta dan berbagai bentuk rekomendasi.
Suara Alam Tetap Kena Royalti
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa rekaman suara apapun yang diputar di ruang usaha, tetap memiliki hak terkait yang wajib dihormati. Produser rekaman suara burung atau suara alam lainnya tetap memiliki hak atas fonogram tersebut.
“Putar rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak. Jadi tetap harus dibayar,” jelasnya. Hak terkait mencakup hak produser rekaman suara dan pelaku pertunjukan atas pemanfaatan hasil karya mereka. Maka, sekalipun suara yang diputar bukan musik, bila berupa rekaman, tetap ada kewajiban pembayaran royalti.
Dharma menyayangkan narasi yang menyebut kewajiban membayar royalti sebagai beban yang mematikan usaha kecil. “Ada narasi keliru seolah-olah LMKN mau mematikan usaha kafe. Padahal mereka belum baca undang-undangnya, belum bayar pun sudah menyebarkan narasi seperti itu.” Ia menekankan bahwa membayar royalti merupakan bentuk penghargaan terhadap hak pencipta dan pelaku seni, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.
0 Komentar